Mempersiapkan Penyapihan Psikologis pada Anak Sejak Dini
Pada anak usia dini di dua sampai empat tahun, ada tahap dimana anak-anak akan melalui satu fase yang disebut dengan penyapihan psikologis.
Maksud dari penyapihan psikologis adalah perpindahan fase anak dari yang sebelumnya selalu bergantung kepada orang tuanya menjadi lebih independen, masuk ke ruang lingkup yang lebih luas dan berinteraksi dengan dunia luar. Anak-anak mulai mandiri dalam bersikap, mulai lepas sedikit demi sedikit dari orang tuanya. Maka sangat penting sekali bagi para orang tua untuk mempersiapkan psikologi mereka.
Dalam Islam, penyapihan psikologis mempunyai perhatian dan dampak yang luar biasa dalam tumbuh kembang anak.
Hal ini bisa kita ambil pelajarannya dari kisah ketika Rasulullah ﷺ wafat, banyak dari sahabat yang tidak percaya. Bahkan ada diantara sahabat yang mengatakan, “Barang siapa yang mengatakan Nabi Muhammad ﷺ telah meninggal, maka aku akan penggal kepalanya”.
Diantara sahabat, ada dari mereka yang memiliki sifat lemah lembut, mudah tersentuh, dst. Ia Adalah sahabat Abu Bakar As Shiddiq radhiallahu anhu.
Di sisi yang lain, ada sahabat yang memiliki karakteristik tegas, pemberani, dan sangat luar biasa, dan ia adalah Umar radhiallahu anhu.
Ketika mendengar berita bahwa Rasulullah ﷺ wafat, sahabat Umar merupakan salah satu di antara sahabat yang tidak percaya bahwa Rasulullah ﷺ sudah wafat.
Namun ditengah-tengah situasi yang sangat rumit ini, muncul lah sahabat Abu Bakar As Shiddiq dengan kekuatan pribadinya yang luar biasa, dengan kekuatan jiwanya, seakan-akan menyadarkan para sahabat tentang hakikat Rasulullah ﷺ, hakikat bahwa ia hanya seorang hamba Allah yang dipilih menjadi Nabi dan Rasul.
Kemudian beliau membacakan QS: Ali Imran 144.
Yang mana menyampaikan bahwa, “Nabi Muhammad ﷺ bukan lain hanyalah seorang rasul, (yang merupakan utusan Allah dari kalangan manusia, terbatas, dan pasti wafat), pun sebelum Nabi Muhammad sudah berlalu nabi-nabi yang lain. Apakah kalau beliau wafat, Atau beliau terbunuh, kalian akan kembali kepada kekufuran,…”
Abu Bakar As Shiddiq juga menyatakan “man kaana ya’budu Muhammadan, fa inna Muhammadan qad maat”, barangsiapa yang menyembah Nabi Muhammad, maka Nabi Muhammad sudah wafat. Tapi barang siapa yang menyembah Allah, Maka Allah Maha hidup dan tidak wafat.
Maka dari itu, kekuatan pribadi, mental, dan sisi psikologis disini sangat penting untuk dipersiapkan guna perkembangan anak kedepannya. Membangun sisi psikologis mandiri sedikit demi sedikit supaya melepaskan ketergantungannya kepada kita, kedua orang tuanya.
Mengapa?
Karena di masa yang akan datang, mereka akan medapatkan ujian-ujian hidup yang berkenaan dengan masalah ini. Nantinya, mereka akan berpisah dengan orang-orang, dengan kita, ataupun dengan sesuatu yang sangat ia kagumi, ia sukai, pun hal-hal yang sangat terikat dengannya.
Contoh kecil yang bisa kita temui adalah ketika anak-anak punya satu barang, dan satu ketika barang tersebut hilang, maka ia mudah sekali marah, ngambek, dsb.
Kalau kita tidak memaksimalkan hal ini untuk menguatkan penyapihan psikologisnya, maka bukan tidak mungkin ke depannya ia akan memiliki karakter yang lemah dan mudah terpukul. Terpukul dengan hal-hal kecil, hal-hal biasa, sepele, hal yang ringan.
Nah, pada umur 2-4 tahun inilah waktu yang tepat untuk mempersiapkan penyapihan psikologisnya. Sehingga apabila dikemudian hari ia dihadapkan akan situasi kehilangan ataupun kondisi yang kurang menyenangkan, maka Insya Allah ia akan bisa mengatasinya dengan baik.
Kalau ingin sejenak melihat kondisi remaja saat ini. Betapa banyak anak-anak muda yang mudah sekali depresi, putus asa, dan ada keinginan bunuh diri hanya karena putus cinta, tidak lulus kuliah, dst. Hal ini merupakan salah satu dampak dari cara membimbing yang tidak benar dalam melakukan dan melewati fase penyapihan psikologisnya pada masa-masa belia.
Tidak selamanya kepribadian yang kuat ada pada orang-orang yang memiliki ketegasan sikap. Terkadang anak yang lemah lembut pun bisa memiliki kepribadian yang kuat, dan hal tersebut sudah dibuktikan oleh sahabat Abu Bakar As Siddiq r.a.
Tahap Masa Tumbuh Kembang Anak
Anak-anak di usia dua sampai empat tahun tahun pada umumnya mulai masuk pada tahap berjalan dan juga bermain, mulai bersosialisasi, dan mulai masuk pada ruang lingkup yang lebih luas. Terkadang sikap yang yang kurang tepat dari orang tua adalah ketika melarang anaknya untuk memiliki waktu bermain, hal ini bisa mengganggu terhadap karakter anak kedepannya, mengganggu bagaimana ia menyikapi ketika kehilangan sesuatu ataupun berpisah dengan seseorang.
Maka salah satu sikap yang tepat bagi orang tua adalah memberikan mereka waktu untuk bermain secara proporsional.
Islam sangat memperhatikan hal ini, dan waktu bermain untuk anak anak kecil memiliki kedudukan yang sangat agung di dalam Islam.
Hal ini sebagaimana yang terdapat di dalam Al Quran surah Yusuf terkait bagaimana Nabi Yakub a.s menjaga Nabi Yusuf dari makar saudara-saudaranya.
Hal ini tidak lain karena Nabi Ya’qub a.s sudah diberi pengetahuan bahwa Yusuf suatu saat nanti akan menjadi nabi, dan saudara-saudaranya akan iri dengan Nabi Yusuf. Hikmah dari kejadian ini bisa kita petik ibrahnya dari QS:12 ayat 4-14.
Hikmah dan Pelajaran dari Surat Yusuf
Pelajaran yang bisa diambil, diantaranya;
1. Pentingnya Orang Tua Memberikan Waktu Main bagi Anak-anak
Waktu bermain pada anak di pandangan para nabi memiliki kedudukan yang tinggi. Hal ini bisa kita cermati dari bagaimana penjagaan nabi Ya’qub terhadap nabi Yusuf yang begitu ketat di dalam Al Quran.
Namun, pada akhirnya beliau tetap mengizinkan Nabi Yusuf untuk keluar bermain bersama saudara-saudaranya. Tidak lain karena alasan ‘untuk bermain’.
Hal ini menjadi bukti bahwa nabi pun memberi ruang yang luas untuk bermain bagi anak-anak. Jangan over-protective, terlalu di kekang, pun dihalang-halangi untuk bermain, kecuali apabila ada hal-hal yang mengancam secara nyata.
2. Tidak Tawakal dan Terlalu Mengedepankan Ilmu Pribadi
Kekhawatiran orang tua (prasangka buruk) terhadap anak, kegelisahannya dalam mendidik dia, malah akan menjadi magnet bagi hal buruk itu sendiri. Karena ketika orang tua menggantungkan masa depan/keselamatan anak pada usaha pribadinya, pada hati dan pikirannya. Maka apa yang dikhawatirkannya malah akan benar-benar terjadi.
Belajar dan pengamalan ilmu itu perlu, namun menggantungkan keselamatan dan masa depan anak pada diri pribadi dan ilmu yang dimiliki merupakan suatu keangkuhan bagi Yang Maha Mengetahui. Bukankah telah kafi takdir yang dituliskan Allah sampai akhir nanti. Lalu setelah berikhtiar, mengapa kita tak menggantungkannya kepada Yang Maha Melindungi lagi Maha Mengawasi.
Di akhir kisah, setelah melalui berbagai rintangan dan ujian, sikap nabi Ya’qub berubah dan berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan ketika beliau menyerahkan semua urusannya kembali kepada Allah, maka Allah kembalikan nabi Yusuf kepada beliau, dan inilah sebaik-sebaik kisah.
Sudahkah kita mengambil hikmah?
3. Tidak Memarahi Anak Ketika Dia Sedang Bermain
Sudah menjadi sunnatullah bahwa bermain merupakan karakteristik yang tidak lepas dari anak-anak. Justru menjadi hal yang janggal apabila anak tidak suka bermain.
Bermain memiliki peran yang besar, hal ini sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis manakala suatu ketika Rasulullah ﷺ menyuruh Anas bin Malik (ketika masih kecil) untuk menunaikan satu hajat, namun setelah sekian lama dan belum kembali, nabi menyusulnya. Ternyata, sebab belum kembalinya adalah karena beliau radhiallahu anhu sedang bermain bersama anak-anak lainnya, dan Rasulullah tidak memarahi beliau.
Cukuplah nabi sebagai panutan dan suri tauladan.
4. Sesekali Ikut Bermain Bersama Anak
Kesalahan yang sering terjadi pada pola asuh orang tua saat ini adalah kurangnya interaksi pada anak.
Orang tua merasa bahwa sekedar menitipkan anaknya di sekolah, lembaga, ataupun daycare cukup untuk memberi mereka bekal yang diperlukan guna menghadapi masa depannya. Mereka membutuhkan itu, tapi percayalah bahwa ‘pendidikan keluarga’ lebih bermakna pada pembentukan karakter mereka.
Rasulullah ﷺ sudah mencontohkan kepada kita melalui hadis shahihnya manakala beliau melewati satu suku yang sedang bermain panahan, dan kemudian beliau ikut bermain bersama mereka.
Pelajaran yang bisa diambil. Sebagai orang tua, sesekali kita perlu untuk ikut bermain bersama anak-anak, ikut masuk ke dalam dunia kecil mereka, menciptakan core-memory guna ingatan jangka panjang pembentuk kerangka karakternya. Luangkanlah satu waktu untuk bermain bersama.
Pendapat Ulama Tentang Bermain dan Perannya Terhadap Anak
Imam Ghazali rahimahullah menyatakan, “wa yanbaghi an yu’dzana lahu ba’dal-faraghi minal kuttaab an yal’aba la’ban jamiilan”.
“Dan sudah seharusnya bagi orang tua, setelah anaknya pulang dari sekolah/ngaji/les, ketika anak-anak pulang dari tempat belajar, orang tua harus memberikan kesempatan sebesar-besarnya anak untuk bermain”.
“Yastaghriqu ilaihi ta’bul-kutaab”.
Untuk apa?
“Agar jiwa/mental anak bisa melepaskan beban (belajar/tugas) berat yang ada di sekolah”.
Hal ini berkebalikan dengan yang ada saat ini.
Bagaimana semakin hari anak-anak semakin dituntut untuk selalu belajar, masuk sekolah, ikut bimbingan belajar, eskul pendidikan, dst.
Hal ini termasuk menzalimi anak.
Melarang anak usia dua sampai empat tahun untuk bermain kedudukannya sama seperti sedang menekan dia, menutup hatinya, dan mematikan mentalnya. Imam Ghazali rahimahullah mengatakan, “yumiitul-qalb”, mematikan hati.
Selain itu, ketika kita juga memforsir anak-anak untuk belajar banyak hal pada satu kesempatan yang sama (multitasking), maka hal ini malah akan mematikan potensi kecerdasan dia dan menghilangkan kebahagiaan dalam hidupnya.
Maka poin yang tepat adalah, beri anak tugas-tugas yang perlu untuk diselesaikannya, baru kemudian kasih kesempatan untuk dunia bermainnya.
Ibnu Qudamah rahimahullah menyampaikan, “… dan dianjurkan ketika anak pulang dari tempat belajarnya agar dibiarkan untuk beristirahat/bermain, karena hal itu akan menghilangkan beban-beban pendidikannya”.
Dan juga sebagaimana dikatakan, “hendaknya kalian mengistirahatkan (menghibur) diri kalian agar lebih kuat lagi dalam berzikir”.
Begitu juga ulama-ulama lain menasihatkan, “kalau sekiranya anak kecil bangun dari tidurnya, maka tuntun ia untuk menyelesaikan hajat bangun tidurnya, kemudian setelah itu biarkan dia untuk bermain sesaat (misal; satu jam), baru setelah itu makan, dan bermain lagi..”.
Tak kalah penting juga, di dalam bermain itu hendaknya kita masukkan juga hal-hal edukatif yang bermanfaat bagi anak. Dan poin paling penting dalam permainan seperti ini, orang tua dilarang terlalu banyak memberikan peraturan-peraturan, jangan terlalu intervensi kesempatan anak untuk bermain, biarkan dia bermain sesuai dengan kemauannya.
Akhir kata, permainan bagi anak usia dua sampai empat tahun layaknya air bagi ikan. Kedudukannya sangat penting bagi manusia, khususnya terhadap anak-anak, karena itu akan mempengaruhi psikologi masa depannya, membangun kekuatan mental ketika menghadapi sesuatu yang diluar prediksinya, tetap tegar menghadapi kesulitan ataupun rasa sedih apapun yang memiliki kedudukan tinggi di hatinya.
Peran kita adalah berusaha semaksimal mungkin, tapi yang menentukan hasil adalah Allah ta’ala. Maka bertawakkal lah kepada-Nya. Dan pasti Allah akan senantiasa menjaga apapun yang dititipkan kepada-Nya.
Sebagaimana kita belajar parenting ini berdasarkan petunjuk Allah, maka mari kita niatkan ini supaya menjadi wasilah agar lebih dekat kepada Allah melalui sunnah nabi-Nya.
Wallahu a’lam